SEJARAH TULISAN ARAB
Dosen Pengampu :
Imam Khoirul Ulumuddin, M.Pd.I
Kelompok :
1.
Wais Alqurni NIM :
176010134
2.
Asrokul NIM :
3.
Nain NIM
:
FAKULTAS AGAMA ISLAM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2019
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bahasa Arab ((اللغة
العربية adalah salah satu bahasa Semitik Tengah, yang termasuk dalam
rumpun bahasa Semitik dan berkerabat dengan bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa Neo
Arami. Bahasa Arab memiliki lebih banyak penutur dari pada bahasa-bahasa
lainnya dalam rumpun bahasa Semitik. Ia dituturkan oleh lebih dari 280 juta
orang sebagai bahasa pertama, yang mana sebagian besar tinggal di Timur Tengah
dan Afrika Utara. Bahasa ini adalah bahasa resmi dari 25 negara, dan merupakan
bahasa peribadatan dalam agama Islam karena merupakan bahasa yang dipakai oleh
Al-Qur'an.
Huruf Arab digunakan di berbagai
belahan dunia, urutan kedua di bawah huruf Romawi/Latin. Orang-orang Arab zaman
dulu menyukai kehidupan yang berpindah-pindah, lama sekali mereka terbiasa
berkomunikasi secara lisan saja.
Dibandingkan dengan orang-orang
Mesir, Babylonia, ataupun Cina, mereka terlambat berkenalan dengan huruf.
Mereka tidak berpengalaman dalam bahasa tulisan. Bahkan puisipun dipelihara
lewat bahasa lisan. Sebaliknya, bagi orang-orang Phoenic, yang bertempat
tinggal di Libanon, pada sekitar 1100 sebelum Masehi telah mengembangkan
Alfabet sebanyak 22 huruf. Alfabet ini merupakan hasil dari penyederhanaan
untuk memudahkan komunikasi di antara mereka.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
Sejarah Tulisan Arab?
2.
Bagaimana
Fase Penyempurnaan Tulisan Arab?
C.
Tujuan
1.
Untuk
Mengetahui Sejarah Tulisan Arab
2.
Untuk
Mengetahui Fase Penyempurnaan Tulisan Arab
II.
PEMBAHASAN
A.
Pertumbuhan Dan
Perkembangan Huruf Hijaiyah
Semua huruf atau
tulisan di dunia ini pada mulanya merupakan tanda-tanda yang sangat sederhana
yang telah ditemukan, disepakati dan dipergunakan oleh generasi paling tua
dalam bentuk gambar atau lambang yang dapat dilihat oleh mata. Kemudia generasi
selanjutnya melakukan proses pengurangan, penambahan dan penyempurnaan sesuai
kebutuhan, sehingga terwujud bentuk huruf seperti sekarang ini. Demikian pula
dengan huruf atau tulisan Arab.
Menurut penelitian para
sejarawan, tulisan Arab yang digunakan seperti sekarang ini berasal dari
tulisan mesir kuno: Hieroglyph. Dibuktikan dengan temuan arkeologis
–prasasti pada batu, pilar di Mesir. Selain itu sisa-sisa paleografis tulisan
pada material seperti papyrus dan kertas kulit tertentu
membuktikan bahwa orang Mesir pada masa itu mempunyai pengetahuan tentang tulis
menulis dan seni tulis. Tulisan Mesir kuno terdiri dari gambar-gambar sehingga
disebut pictograph (tulisan gambar). Karena cara menulis
dengan gambar itu tidak ada batasnya maka kemudian diringkas dengan mengambil
dan mempergunakan beberapa huruf hieroglyph. Seperti (:) lambang
untuk bunyi ra atau r, ( ر ) berbunyi p,
( ت )
berbunyi ta atau t, dan sebagainya.[1]
Tulisan Mesir kuno
tetap digunakan dalam bentuk gambar dan beberapa diantaranya berupa huruf
hingga abad 5 M, dan tidak mengalami banyak perubahan sampai
generasi-generasi mesir selanjutnya berakulturasi (proses bercampurnya dua atau
lebih kebudayaan karena percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi)
dengan suku-suku di daerah lain, seperti dengan Suku Lihyani di Arabia Selatan
dan sebagai wujud akulturasinya melahirkan jenis tulisan lihyani,
atau dengan Suku Himyar di Yaman Siria dan melahirkan tulisan himyari.[2]
Ciri tulisan pada waktu
itu adalah huruf ditulis dengan bentuk lambang yang terpisah-pisah seperti
huruf cetak Latin, hanya huruf konsonan (selain wawu, alif dan ya’)
yang di tulis, tidak memakai titik-titik, dan terkadang satu huruf dipakai
untuk beberapa huruf yang mempunyai kesamaan bentuk tanpa diberi tanda pembeda
seperti lazimnya huruf pada masa sekarang.
Dalam perkembangan
selanjutnya, Tulisan Arab mengalami proses penyempurnaan bentuk meskipun belum
dibedakan. Hal ini terjadi setelah adanya penetrasi budaya dan peradaban
oleh Suku Anbar dan Hirah (yang mendiami sepanjang sungai
Eufrat) terhadap masyarakat Mesir pada waktu itu. Ciri huruf atau tulisan pada
fase ini adalah huruf-huruf sudah ditulis secara bersambung, dan juga adanya
penambahan beberapa huruf yang sebelumnya tidak ada. Seperti tsa’,
dzal, dhad, dla’, dan ghin. Huruf mati –alif, wawu, dan ya’-
juga telah dipergunakan sampai abad ke-6 M.
Diperkirakan seabad
sebelum kedatangan Islam, orang-orang Hijaz telah belajar baca-tulis di
Siria (pada suku Himyar) dan Irak (pada Suku Hirah dan Anbar).[3] Hal
ini dikarenakan hubungan dagang yang terjalin diantara mereka. Sehingga
melahirkan tokoh-tokoh yang dikenal mempunyai keahlian baca-tulis Arab, seperti
Bisyir Bin Abdul Malik Al-Kindi yang bersahabat dengan Harb Bin Umayyah yang
mempunyai keahlian sama, yang kemudian menikah dengan keturunan Umayyah dan
mulai mengajarkan baca tulis kepada pemuda-pemuda Quraisy.
Pada akhir abad ke-6
M memasuki awal abad ke-7 M, mulai banyak orang Islam yang pandai
baca-tulis, khususnya di kalangan pemudanya. Karena adanya program
pemberantasan buta huruf yang dicanangkan oleh Nabi Muhammad SAW. yakni
tawanan-tawanan non Muslim yang tidak membahayakan Islam jika dibebaskan dan
mereka mempunyai kemampuan baca-tulis yang cukup, maka tiap satu orang tawanan
diharuskan mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh anak orang Islam sampai mahir.[4] Diantara
sahabat-sahabat Nabi yang pandai baca-tulis adalah Ali Bin Abi Thalib, Umar Bin
Khattab, Usman Bin Affan, Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, Yazid Bin Abi Sufyan dan
masih banyak lagi. Meskipun sebagai sahabat dan keluarganya dapat membaca dan
menulis, namun Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mempelajari
kepandaian ini.
Wahyu yang turun
kepad Nabi Muhammad oleh sebagian sahabat yang dapat menulis,
dituliskan di atas pelepah kurma, kayu, tulang, lempung, batu, dan material
lain yang dapat digunakan.[5] Beberapa
bagian al-Qur’an disimpan di masjid Nabi, di rumah Nabi Muhammad dan sebagian
di rumah para sahabat nabi. Dengan wafatnya nabi Muhammad pada tahun 623
M, dan gugurnya banyak pengikut Nabi Muhammad yang hafal seluruh al-Qur’an
dalam perang, seperti perang yamamah, maka umat merasakan kebutuhan
mendesak untuk mencatat wahyu dalam bentuk lebih permanen. Atas desakan Umar
Bin Khattab, Abu Bakar memerintahkan Zaid Bin Tsabit (sekretaris Nabi) untuk
menghimpun dan menulis semua ayat dalam susunan seperti yang ditunjukkan
Nabi Muhammad SAW.
Nantinya ketika agama
Islam tersebar ke berbagai belahan dunia, berkembang kekhawatiran bahwa wahyu
Allah akan hilang atau menyimpang jika tidak ada teks standar pada
masing-masing pusat politik religious Negara Islam. Karena pesan al-qur’an
harus difahami muallaf, maka penting sekali ada satu edisi yang dapat digunakan untuk
mengajar dan berdakwah.
Proses pelestarian dan
tujuan berdakwah melahirkan kebutuhan baru untuk menyempurnakan tulisan.
Berangsur-angsur aturan ditetapkan untuk menyambungkan banyak huruf Arab. Titik
ditambahkan untuk membedakan huruf-huruf yang disampaikan dalam satu bentuk (shad,
dhad, tha’, dla’, da, dza, ba, ta, tsa dan lainnya). Tanda vokal
pendek di atas dan di bawah huruf (fathah untuk “a” pendek, dhammah untuk
“u” pendek, dan kasrah untuk “I” pendek) dikembangkan untuk
melengkapi vokal dan konsonan panjang. Metode tepat untuk menunjukkan maddah
(pemanjangan vokal), syiddah(konsonan ganda), dan sukun (konsonan
tak bervokal) kemudian ditambahkan sebagai penyempurna.[6]
Model tulisan yang
dipakai para sahabat Nabi dan orang Arab pada masa itu adalah tulisan hijazi, yaitu
bentuk tulisan yang merupakan penyempurnaan dari rentetan pertumbuhan dan perkembangan
tulisan Arab dalam proses mencari bentuk kesempurnaan huruf yang memenuhi
kebutuhan bahasa.
B.
Fase Penyempurnaan Tulisan Arab
Pada masa ini, meskipun
secara harfiah tulisan hijazi sudah lengkap, namun masih belum
sempurna, tanpa tanda baca titik dan harakat. Huruf-huruf yang sama bentuknya,
tetapi berlainan ejaannya belum dibedakan dengan titik. Misalnya: ba’,
ta’, tsa’, jim, ha’, kha’, dal, dzal, ra, za dan lainnya.
Penyempurnaan ini
dibutuhkan karena munculnya kasus kesalahan baca ayat al-Qur’an dikalangan
muslimin. Kesalahan membaca ayat al-Qur’an adalah fatal sebab dapat merubah
makna ayat tersebut. Dengan makin meluasnya agama Islam ke berbagai suku dan
bangsa-bangsa bukan arab yang tidak mengenal bahasa arab, kekhawatiran
terjadinya kesalahan yang sama semakin kuat. Karena bahasa dan tulisan Arab
merupakan bahasa dan tulisan resmi al-Qur’an. Sedang bahasa dan tata bahasa
Arab waktu itu belum dibakukan.
Penyempurnaan tulisan
Arab selanjutnya adalah dengan
a.
Menciptakan syakal
Pada awal abad ke-7 M,
awal daulah Umawiyah, Ziyad Bin Abi Sufyan meminta kepada seorang ahli Bahasa
Arab, Abu Aswad Al-Duali (w. 69 H) untuk menciptakan syakal (tanda
baca/harakat) untuk mempermudah membaca al-Qur’an dan meminimalisir
kesalahan baca. Tanda baca yang diciptakan berupa titik-titik.
-
Titik satu disebelah
kiri huruf berarti dhammah (u), seperti tulisan(ط) maka
dibaca thu.
-
Titik satu tepat di
atas huruf berarti fathah (a).
-
Titik satu tepat di
bawah huruf seperti kasrah (i).
-
Bila titik didobelkan
(dua titik) maka fungsinya menjadi tanwin (un, an, in).
Titik-titik yang menjadi tanda baca tulis dengan tinta merah untuk
membedakan dengan huruf yang ditulis dengan tinta hitam. Dalam hal ini ada yang
berpendapat bahwa semua huruf yang ada dalam al-Qur’an diberi tanda baca.
Tetapi pendapat lain mengatakan bahwa yang diberi tanda hanyalah huruf akhir
kata atau huruf-huruf yang dapat menimbulkan salah baca bila tidak diberi
tanda.
b.
Membedakan huruf yang
sama bentuk dengan garis
Tanda baca yang berupa
titik-titik ciptaan Duali sangat membantu mempermudah membaca al-Qur’an. Tetapi
huruf-huruf yang bentuknya sama dan ejaannya berbeda seringkali masih
membingungkan. Ini karena huruf-huruf hijaiyah banyak yang
mempunyai kesamaan bentuk baik ketika berdiri sendiri atau ketika disambung
dengan huruf lain kecuali enam huruf: alif, kaf, lam, wawu, ha’, dan mim.
Pada masa pemerintahan
Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M) seorang gubernur bernama Al-Hajjaj Bin Yusuf
Al-Tsaqafi meminta Nasr Bin ‘Ashim dan Yahya Bin Ya’mar untuk memberi tanda
pada huruf-huruf yang sama bentuknya tapi berbeda ejaan. Nasr dan Yahya
selanjutnya menciptakan tanda berupa garis-pendek yang diletakkan di atas atau
di bawah huruf. Garis pendek itu bisa satu, dua atau tiga. Misalnya : ba’,
diberi satu garis pendek di atas huruf, tsa’, diberi tiga garis
pendek di atas huruf, dan seterusnya. Bila garis-pendek berjumlah tiga maka
yang satu diletakkan di atas dua garis pendek yang berjajar. Garis-pendek yang
berfungsi untuk membedakan huruf ini justru dibuat dengan tinta yang sama
dengan tinta untuk menulis huruf, hitam. Tanda titik dan garis-pendek tetap
dipakai selama pemerintahan Bani Umayyah sampai awal pemerintahan Abbasiyah
±685-750 M.
c.
Membalik tanda-tanda
Setelah beberapa waktu,
system penandaan titik dan garis pendek mengalami perubahan. Munculnya keluhan
dari para pembaca al-Qur’an mengenai banyaknya tanda yang harus disandang
huruf-huruf dalam ayat al-Qur’an yang dianggap menyulitkan, selain itu model
penandaan titik dan garis-pendek dengan menggunakan tinta (waktu itu mesin
cetak belum dikenal) memunculkan problem lain. Tinta yang tidak bersifat
permanen, artinya dalam beberapa waktu sering kali menjadi kabur dan bahkan
hilang, bisa terkena air atau karena faktor lain menyebabkan garis-garis pendek
menjadi seperti titik-titik atau sebaliknya, titik-titik menjadi seperti garis
(jawa: jumbuh). Sementara itu tinta merah yang digunakan untuk
menulis tanda titik karena terlalu lama menjadi kehitam-hitaman menyerupai
huruf atau garis pendek yang memang ditulis dengan tinta hitam. Sebuah fakta
yang memunculkan kesulitan baru karena orang menjadi bingung mana syakal (titik-titik)
mana huruf tertentu (garis pendek).
Kesulitan ini
menggerakkan seorang ahli tata Bahasa Arab (nahwu/sintaksis), Al-Khalil
Bin Ahmad (w. 170 H) mengadakan perubahan. Al-khalil membalik fungsi tanda-baca
tanda-baca yang diciptakan Abu Aswad dan Nasr-Yahya. Titik-titik yang awalnya
merupakan harakat sekarang dijadikan tanda untuk membedakan
huruf yang berbentuk sama namun berbeda ejaan. Dan untuk tanda baca (syakal/harakat)
al-Khalil mengambil dari huruf-huruf yang menjadi sumber bunyi
(huruf vokal). Alif sebagai sumber bunyi ‘a’.Ya’ sebagai
sumber bunyi ‘I’. Wawu sebagai sumber bunyi
‘u’. Kepala kha’ sebagai tanda mati (sukun).
Tanda untuk membedakan
huruf yang bentuknya sama bisa berupa tanda titik atau tanda menyerupai angka.
1.
Tanda titik
Untuk huruf-huruf yang
tidak mempunyai kesamaan bentuk dengan huruf lainnya, tidak diberi tanda titik.
Misalnya alif, lam, mim, dan ha’.
Untuk huruf-huruf yang
berbentuk sama diberi tanda titik. Misalnya ba’, ta’ tsa’, jim, ha’
dan kha’. Dal dengan dzal. Ra’ dengan za’. Sin
dengan syin, shad dengan dhad. Tha’ dengan dla’,
dan lainnya.
Ba’ dengan satu titik di bawah. Ta’ dengan dua titik di
atas. Tsa’ dengan tiga titik di atas. Jim dengan
satu titik di bawah. Kha’ dengan satu titik di atas.Dzal dengan
satru titik di atas. Syin dengan tiga titik di atas. Dhad dengan
satu titik di atas.
Semua ditulis dengan
tanda demikian baik ketika dipisah maupun di sambung. Tetapi ada beberapa huruf
yang berbeda penandaannya ketika ditulis terpisah dan bersambung.
Fa’ dengan satu titik di atas ketika ditulis bersambung dengan huruf
lain.Dan tanpa titik ketika ditulis terpisah.
Qaf dengan satu titik di bawah, ada pula yang menandainya dengan dua titik di
atas ketika ditulis bersambung. Dan tanpa titik ketika ditulis
terpisah. Meskipun qaf nampak serupa dengan fa’,
namun ulamak terdahulu tidak menganggapnya serupa. Sebab bentuk fa’ lebih
terbuka sedangkan qaf lebih tertutup. Mereka justru menyamakan
bentuk qaf dengan wawu. Hanya saja dalam penulisan
terpisah untuk membedakan qaf dengan wawu, qaf ditulis dalam
bentuk lebih besar daripada wawu.
Pada masa-masa awal
munculnya bentuk huruf hijaiyah, kaf mempunyai
kesamaan bentuk dengan dal dan dzal. Hanya saja
bentuk kaf ditulis lebih besar daripada keduanya. Karena
perbedaan ukuran ini, kaf tidak diberi tanda titik untuk
membedakannya dengan dal dan dzal.
Seperti halnya kaf, pada masa awal
penandaan huruf-huruf hijaiyah, nundiserupakan
bentuknya dengan ra’ dan za’ ketika ditulis terpisah dan tanpa
tanda titik. Hanya saja nun ditulis dalam bentuk lebih besar dan ekor lebih
tertutup. tetapi ketika disambung, nun diberi tanda satu titik di atas sebab
menyerupai bentuk ba’ dan saudaranya.
Huruf ya’ ketika
disambung diberi tanda dua titik di bawah karena menyerupai nun,
ba’ dan saudaranya. Tetapi ketika ditulis terpisah atau sendirian
tidak diberi tanda apapun karena tidak dikhawatirkan serupa dengan huruf lain.
Riwayat ini menunjukkan
bahwa bentuk tulisan dan penandaan yang demikian adalah jenis tulisan kufi[7] pada
abad-abad permulaan dan belum mengalami penyempurnaan.[8]
2.
Tanda angka
Untuk membedakan
huruf-huruf yang serupa bentuknya, ada ulama yang menggunakan angka atau tanda selain
titik. Misalnya, di atas huruf ra’ dan sin ditulis
tanda menyerupai angka ‘7’. Tanda ini ditulis di salah satu huruf yang serupa
bentuknya saja. Jadi, jika ada huruf menyerupai sin tetapi diatasnya tidak ada
tanda seperti angka -7- berarti itu huruf syin. Atau bila ada huruf
seperti ra’ dan diatasnya tidak ada tanda demikian berarti
huruf za’.
Ada pula yang ditandai
dengan huruf. Misalnya, di atas huruf cha’ dan ‘aindiberi
tanda seperti huruf ‘د’. di bawah
huruf shad diberi tanda lingkaran kecil. Sedangkan, bila ada
huruf yang bentuknya seperti huruf shad tetapi tidak ada tanda lingkaran kecil
dibawahnya, berarti adalah huruf dhad. Namun, penggunaan
tanda-tanda ini untuk membedakan huruf jarang dipakai sebab dianggap terlalu
rumit dan sulit mengingatnya karena tanda yang dipakai berbeda-beda.[9]
C. Tanda Khusus Pada Saat Huruf Diucapkan
Tanda ini hampir
menyerupai harakat dalam hal fungsi dan posisinya. Kalauharakat menjadi
vocal atau menunjukkan bunyi huruf yang menerimanya, maka tanda ini lebih mengarah
pada bentuk huruf pada saat ditulis dan baru tampak fungsinya ketika huruf yang
menerima tanda ini diucapkan.
Tanda khusus itu
adalah:
1. Tanda pengganti hamzah
Pada masa permulaan
Islam, masyarakat Islam pada masa itu hanya mengenal alifsebagai
bentuk hamzah. Bahkan Mushaf Usmani juga melambangkan hamzah dengan alif.
Penduduk Hijaz hanya mengenal hamzah jika berada di awal kalimat.
Namun ketika hamzah itu berada di tengah atau di akhir, mereka
mengganti hamzah tersebut dengan huruf yang sesuai dengan harakat yang
paling kuat. Secara berurutan dari sisi kekuatanharakat adalah kasrah,
dhammah, fathah. Untuk yang paling lemah adalah sukun, kasrahdengan ya’,
dhammah dengan wawu, dan fathah dengan alif.
Huruf-huruf inilah yang selanjutnya yang menggantikan posisi hamzah jika
berada di tengah dan di akhir. Dalam perkembangan kaidah kebahasaan berikutnya,
hal ini dikenal dengan istilah ta’shil, yaitu meringankan bacaan hamzah
dan menggantinya dengan huruf yang sesuai denganharakatnya.
Mushaf Usmani juga
menampakkan hamzah bila hamzah berada di awal kalimat saja dan
hanya dilambangkan dengan alif. Mushaf Usmani tidak mengenal hamzah di
tengah dan di akhir kalimat. Sebab hamzah di dua tempat
tersebut dalam Mushaf Usmani semuanya diganti dengan huruf mad (alif,
wawu, ya’). Selanjutnya diciptakan tanda baru untuk menunjukkan
adanya hamzah di tengah atau di akhir kalimat. Sebab tanda
titik yang diciptakan oleh Abu Aswad Al-Duali sebagai harakat tidak
menunjukkan keberadaan hamzah.[10]
Tanda baru tersebut ada
yang berupa titik yang dibuat dengan tinta warna kuning atau merah. Ada pula
yang cukup menulis huruf pengganti hamzah dengan tinta kuning
atau merah. Artinya, bila di tengah atau di akhir kalimat ada tanda titik atau
huruf yang ditulis dengan warna kuning atau merah, berarti tanda atau huruf itu
adalah hamzah. Dalam perkembangan huruf pada masa berikutnya hamzah tidak
ditandai dengan tanda berbeda, tetapi sudah diberi bentuk, seperti tanda ra’sul
ain (kepala ain).
2. Tanda sukun
Sukun bukanlah harakat. Sebaliknya, sukun menunjukkan
tidak adanya harakat. Karena itu ketika suatu huruf menerima sukun,
ia menjadi ringan bacaannya. Ada banyak pendapat mengenai tanda sukun.
Penduduk Andalusia menggunakan tanda jurrah ataujarrah (tanda
yang di ambil dari huruf kha’) yang diletakkan di atas huruf
untuk menunjukkan sukun. Penduduk Madinah menggunakan tanda bulatan
kecil (diambil dari kepala mim setelah tangkai atau badannya
di buang) yang diletakkan di atas huruf.
3. Tanda tasydid
Tulisan-tulisan Arab
pada mulanya tidak menggunakan tanda khusus untuk huruf yang di tasydid atau
bersuara ganda dan ditulis hanya dengan satu huruf seperti huruf-huruf lain
yang tidak bersuara ganda. Sehingga muncul persangkaan bahwa huruf yang
bersuara ganda memang cuma satu huruf.
Karena itu, akhirnya
disepakati untuk membuat tanda khusus bagi huruf yang bersuara ganda. Ada dua
tanda khusus yang digunakan, yaitu syin ( ش),
diambil dari kata(شديد) tanda ini dibuat
oleh Khalil Bin Ahmad. Tanda kepala syin ini diletakkan di
atas huruf yang bersuara ganda baik huruf itu bersuara ‘a’,’i’, atau ‘u’.
Sedangkan tanda satunya
adalah huruf dal yang ditulis dalam bentuk lebih kecil. Tanda
ini di ambil dari huruf dal yang ada di akhir kata (شديد)tanda dal diletakkan di atas
huruf bila bersuara ‘a’, di bawah huruf jika berharakat kasrah,
dan diletakkan di depan huruf yang bersuara ganda jika bersuara ‘u’.
Tanda tasydid yang demikian banyak dipakai oleh penduduk
Madinah.
4. Tanda tanwin
Tanwin adalah suara nun mati yang berada di akhir isim yang
menerima tanwin (munsharif), isim yang tidak
dimasuki alif-lam (al), dan isim yang tidak dimudhafkan.
Para penulis Mushaf
tidak melambangkan tanwin dengan nun, mereka juga
tidak meletakkan tanda apapun untuk menunjukkan adanya tanwin baik
ketika rafa’atau jar. Hanya ketika nashab saja
para penulis Mushaf menambahkan alif di akhir kalimat.
Abu Aswad Al-Duali
(ketika menciptakan tanda titik untuk menunjukkan harakat, satu
titik yang diletakkan di atas huruf untuk harakat fatha, satu titik
di depan huruf untuk harakat dhammah, dan satu titik di bawah huruf
untuk kasrah) hanya memberi tanda dua titik, satu titik untuk
menunjukkan harakat dan satu titik untuk menunjukkan
adanya tanwin. Sehingga untuk huruf yang menerimatanwin
fathah/nashab, Abu Aswad meletakkan tanda dua titik di atas huruf,
untuk tanwin dhammah/rafa’ ditulis dengan dua titik di depan
huruf, dan untuktanwin kasrah/jar, Abu Aswad memberi tanda dua titik di
bawah huruf. Semua tanda titik ini, baik titik harakat atau
titik tanwin ditulis dengan tinta warna merah.
Kemudian Al-Khalil
menyempurnakan tanda titik yang dibuat oleh Abu Aswad untuk menandai tanwin
dengan tanda garis. Satu titik satu garis, dan dua titik dua garis. Sedangkan
tanda titik sendiri oleh Al-Khalil digunakan untuk membedakan huruf-huruf yang
berbentuk sama tetapi berbeda ejaan. Setelah tandatanwin yang
diciptakan Al-Khalil, tanda tanwin tidak serta merta berubah
seperti sekarang. Ada beberapa perubahan dan perbedaan pendapat mengenai
perubahan lanjutan tanda tanwin.
Menurut Al-Qalqasyandi,
ulama mutaakhirin menggunakan huruf wawudan garis
yang ditulis dalam bentuk kecil dan diletakkan di atas huruf yang
menyandang tanwin dhammah atau dhmmatain.
Huruf wawu menunjukkandhammah dan tanda garis
menunjukkan tanwin. Adapula yang menggunakan hurufwawu ganda
yang ditulis dengan berhadapan, satu wawu menghadap ke depan
dan satu wawu menghadap ke belakang dalam posisi terbalik (‘’).
Tanda-tanda ciptaan
Al-Khalil banyak yang menjadi dasar untuk tanda-tanda dalam tulisan Arab
sampai sekarang. Proses penyempurnaan huruf-hurufhijaiyah ini
terjadi sampai abad ke-8 M. tulisan atau huruf Arab yang sudah mengalami proses
perubahan dan penyempurnaan itulah yang sekarang dipakai sebagi huruf Arab
resmi internasional.
III.
PENUTUP
Simpulan
Al-Quran
menjadi alasan untuk mereformasi semua tulisan Arab yang ditemukan di Saudi.
Satu terpadu terstruktur dengan baik aksara Arab dengan 29 huruf dikembangkan
untuk penulisan kitab suci Al-Quran pada abad ke-7. Terutama Al-Quran itu
ditulis dengan tulisan kufi Al-Quran dan kemudian ditulis dengan gaya Al-Quran
Naskh. Dari penciptaan di Semenanjung Arab, yang Huruf Arab menyebar ke semua,
Afrika utara timur tengah dan bahkan mencapai Spanyol karena penaklukan Islam.
Karena bahasa Arab adalah bahasa Al-Quran maka, semua bangsa yang diduduki
dipaksa untuk menggunakan bahasa Arab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi, Ismail, dan Louis
Lamya. Menjelajah Hazanah Peradaban Gemilang. Bandung: Mizan, 2003.
Al-Masnad. Sejarah Kesenian Islam 2.
Jakarta: Bulan Bintang, 1999.
Al-Shabuni. Al-Tibyan Fi Ulum Al-Qur'an.
Beirut: Alam Al-Kutub, 1995.
Al-Tanthawi, Muhammad. Nasyat Al-Nahwi Wa
Tarikh Asyhur Al-Nuhat. ce. Ke 2. t.thn.
Bek, Muh. Al-Khudhari. Fi Sirati Sayyidi
Al-Mursalin. Bandung: Sinar Baru, 1989.
Husain, Adb. Karim. Seni Kaligrafi Khat
Naskhi, Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab Dengan Metode Komparatif.
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988.
[1] Abd. Karim
Husain, Seni Kaligrafi Khat Naskhi,Tuntunan Menulis Halus Huruf Arab
Dengan Metode Komparatif. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988), hal. 6
[2] Pendapat lain
menyebutnya tulisan al-masnad. Tulisan al-masnad itu
tiap hurufnya berdiri sendiri, tidak bersambung, tidak seperti tulisan Arab
yang ada sekarang. Lihat C. Israr, Sejarah Kesenian Islam 2, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1999), 9.
[3] Dalam salah satu
riwayat disebutkan bahwa suku Anbar mewarisi kepandaian menulis Arab dari
generasi sekretaris Nabi Hud, lihat Nasr Al-Huwairini, Qawaid Al-Imla’..........hal
18.
[4] Muh. Al-Khudhari
Bek, Fi Sirati Sayyidi Al-Mursalin, alih bahasa Bahrun Abu Bakar
(Bandung: Sinar Baru, 1989), 155.
[5] Mereka tidak
menuliskannya diatas kertas karena pada masa itu kertas belum dikenal
dikalangan orang arab, lihat Al-Shabuni, Al-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an (Beirut:
Alam Al-Kutub, 1995), 53.
[6] Ismail Al-Faruqi dan
Louis Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya: Menjelajah Hazanah Peradaban
Gemilang (Bandung: Mizan, 2003), 392
[7] Al-qur’an kuno konon di
tulis dengan tulisan kufi, lihat john L. Eposito, Ensiklopedi
Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001), jilid 3 hal
77, dalam tema Kaligrafi dan Epigrafi.
0 komentar:
Posting Komentar