TOLONG MENOLONG (TA’AWUN)



MAKALAH
TOLONG MENOLONG (TA’AWUN)
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Tafsir
Dosen Pengampu: Dr. Asyiqin Zuhdi., Lc.





Disusun Oleh:
Achmad Mustofa        (166010064)
Septia Nur Hidayah    (166010126)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2018

BAB I
PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang
Sikap tolong menolong adalah ciri khas umat muslim sejak masa Rasulullah Ṣalla Allahu ‘Alayhi wa Sallam. Pada masa itu tak ada seorang muslim pun membiarkan muslim yang lainnya kesusahan, hal ini tergambar jelas ketika terjadinya hijrah umat muslim Mekkah ke Madinah, kita tahu bahwa kaum ansor atau Muslim Madinah menerima dengan baik kedatangan mereka yang seiman dengan sambutan yang meriah, bahkan di sambut dengan sholawatan yang di iringi alat hadhroh (cikal bakal alat hadhroh saat ini) kemudian mempersilahkan segalanya bagi para muhajirin.
Dalam makalah kami, kami hanya membahas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tolong menolong (Ta’awun) dalam hal kebaikan, dan tidak membahas tentang tolong menolong (ta’awun) dalam hal kemungkaran atau kebathillan (hal yang tidak baik).
b.      Rumusan Masalah
1.      Pengertian tolong menolong (ta’awun)
2.      Ayat yang menerangkan (ta’awun) tolong menolong dan penjelasannya
3.      Hikmah tolong menolong (ta’awun) dalam kebaikan




BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian tolong menolong (ta’awun)
Tolong menolong (Ta’awun) dalam al-Qur’an disebut beberapa kali, diantaranya yaitu 5:2, 8:27, 18:19, 3:110, dan juga dalam beberapa ayat lainya.
B. Ayat yang menerangkan (ta’awun) tolong menolong dan penjelasanya
1. al Qur’an Surat al-Maidah Ayat 2
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿المائدة: ٢﴾
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
2.      Sebab Turunnya Ayat (Asbabun Nuzul)
            Menurut Zaid bin Aslam menuturkan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Rasulullah dan para sahabat saat berada di Hudaibiyyah, yang di halangi orang-orang musyrikin untuk sampai ke Baitullah, keadaan ini membuat sahabat marah, suatu ketika, dari arah timur, beberapa orang musyrikin yang akan umrah berjalan melintasi mereka. Para sahabat pun berkata, bagimana jika kita juga menghalangi mereka, sebagaimana kita pernah di halang-halangi.[1]
3.      Penjelasan Ayat (Penjelasan Mufrodat)
Makna al-birru (الْبِرِّ) dan at-taqwa (التَّقْوَى ) Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat. Karena masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya.
Secara sederhana, al-birru (الْبِرِّ ) bermakna kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang telah dipaparkan oleh syariat.
“Al-Birru adalah satu kata bagi seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang hamba. Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi sebab seorang hamba sangat dicela apabila melakukannya”.(Imam Ibnul Qayyim)
4.      Makna Umum
Allah Subḥānahu wa Ta’ālā mengajak untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai. Barang siapa memadukan antara ridha Allah dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.[2]
5.      Makna Khusus
Orang berilmu membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan. Jadi, seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shalih, berkewajiban membantu orang lain dengan ucapan atau tindakan yang memacu semangat orang lain untuk beramal.
6.      Pendapat Ulama’
“Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin agar saling berta’awun di dalam aktivitas kebaikan yang mana hal ini merupakan al-Birr (kebajikan) dan agar meninggalkan kemungkaran yang mana hal ini merupakan at-Taqwa. Allah melarang mereka dari saling bahu membahu di dalam kebatilan dan tolong menolong di dalam perbuatan dosa dan keharaman.”( Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’anil Azhim)
Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حدثنا مسدد حدثنا معتمر عن حميد عن أنس رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ( انصر أخاك ظالما أو مظلوما ) . قالوا يا رسول الله هذا ننصره مظلوما فكيف ننصره ظالما ؟ قال ( تأخذ فوق يديه )

Diriwayatkan dari Musadad, diriwayatkan dari  Mu’tamar, dari Anas. Anas berkata: Rasulullah bersabda: Bantulah saudaramu, baik dalam keadaan sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Anas berkata: Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang berbuat zhalim?” Beliau menjawab: “Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya.[3]
7.      Pendapat Mahasiswa
Di dalam penggalan ayat al Maidah ayat 2 sangat terang benderang di jelaskan bahwa ayat tersebut mengandung kalimat “Perintah dan Larangan”. Bisa dilihat dari kata “wa ta’aawanuu” (dan tolong menolonglah) sebagai kalimat perintah di dalam kebaikan dan “wa laa ta’aawanuu” (dan jangan tolong menolong) sebagai kalimat larangan dalam hal kebathilan. Selain itu ada kandungan ayat yang mengandung pesan “ancaman” di ujung ayat “innalloha syadiidul ‘iqoob” (Sungguh, Allah amat berat siksa-NYA). Jadi hukum saling tolong menolong dalam hal kebaikan adalah wajib, apapun bentuknya. Dan hukum tolong menolong dalam hal kebathilan adalah haram hukumnya, apapun bentuknya. Karna dari perbuatan keduanya itu ada konsekuensinya. Yakni nikmat dan siksa.
Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tertuang dalam perintah ‘Dan bertakwalah kamu kepada Allah’. Dalam hubungan ini, seorang hamba harus lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan menjauhi perbuatan untuk yang menentangnya.
Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan sesama) akan tercapai dengan mencurahkan nasehat, perbuatan baik dan perhatian terhadap perkara ini. Dan kewajiban kedua (antara seorang hamba dengan Rabbnya), akan terwujud melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan penuh pengabdian kepada-Nya.
Hendaknya ini dipahami bahwa sebab kepincangan yang terjadi pada seorang hamba dalam menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika dia tidak memperhatikannya, baik secara pemahaman maupun pengamalan.[4]
C. Hikmah tolong menolong (ta’awun) dalam kebaikan
1. Dapat lebih mempererat tali persaudaraan
2. Menciptakan hidup yang tentram dan harmonis
3. Menumbuhkan rasa gotong-royong antar sesama




BAB III
PENUTUPAN
a.      Kesimpulan
Tolong menolong (Ta’awun) dalam al-Qur’an disebut beberapa kali diantaranya yaitu 5:2, 8:27.
Allah mengajak untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai. Barang siapa memadukan antara ridha Allah dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.
dalam hal saling tolong-menolong dan saling waris-mewarisi, maka tidak ada saling waris-mewarisi antara kalian dan mereka. (Jika kalian tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu).
Adapun hikmah dari tolong menolong (Ta’awun) antara lain yaitu, Menciptakan hidup yang tentram dan harmonis dan jugaMenumbuhkan rasa gotong-royong antar sesama
b.      Saran
Demikian makalah yang telah kami susun, kami menyadari masih banyak kesalahan-kesalahan dalam pembuatan makalah ini. Oleh sebab itu, kami memohon kritik dan saran yang dapat membangun sebagai acuan untuk lebih baik di masa yang akan datang.















Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Departemen agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid, Kalim, Pondok Karya Permai, Banten, tth
Din, (al). Abu ‘Abdullah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakar Ibn farh al-Anshari al-Khazraji Syamsy -, Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân, tahqîq: ‘Abdur-Razzaq al-Mahdi, Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Bairut, Cet 2, 1421 H
Jak’fi, (al). Muhammad bin Isma’il abu “abdullah Bukhari”, tahqiq: Mustofa, al-Jami sahih al-Muhtasar, Dar ibnu Katsir, Bairut. Cetakan ke3, 1407-1987
Zahil. “tafsir surat al-maidah ayat 2”dalamhttp://blog.wordpress.com/2012/05/ 30/tafsir-surat-al-maidah-ayat-2/.html (diunduh 22-03-2018 pukul 22.30)



[1] Departemen agama RI, Al-Qur’an Tafsir Per Kata Tajwid, (Kalim, Pondok Karya Permai, Banten, tth). Hlm 111
[2] Abu ‘AbduAllah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakar Ibn farh al-Anshari al-Khazraji Syamsy al-Din, Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur‘ân, tahqîq: ‘Abdur-Razzaq al-Mahdi, (Dâr Al-Kitab Al-‘Arabi, Bairut, Cetakan 2, Tahun 1421H ), Juz 6, hlm. 45
[3] Muhammad bin Isma’il abu “abdullah Bukhari al-Jak”fi, tahqiq: Mustofa, al-Jami sahih al-Muhtasar, (Dar ibnu Katsir, Bairut. Cetakan ke3, 1407-1987). Juz 6, Hadits 2312
[4] Zahil, “tafsir surat al-maidah ayat 2” dalam  http:// blog.wordpress.com/2012/05/30/tafsir-surat-al-maidah-ayat-2/.html (diunduh 22-03-2018 pukul 22.30 WIB)


Download file disini





Share on Google Plus

About Unknown

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar